Anda pasti kenal Umar bin Abdul Aziz. Setidaknya pernah mendengar nama yang satu ini. Bagi para calon pemimpin dan para pemimpin yang sedang berkuasa, berkacalah dengan tokoh Islam yang satu ini, niscaya Anda akan selamat dari siksa neraka kelak !
Umar bin Abdul Aziz atau yang sering dikenal sebagai Umar II adalah satu-satunya khalifah yang namanya disejajarkan dengan Khulafaurrrasyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali). Dari sisi kesalehan ibadahnya pun tidak diragukan lagi. Menurut Anas bin Malik, cara shalat Umar bin Abdul Aziz sama dengan cara shalat Nabi Muhammad SAW.
Pelajaran apa yang perlu dipetik dari Umar bin Abdul Aziz sehingga begitu penting untuk dijadikan pelajaran bagi para calon pemimpin maupun “incumbent” ? Jawabannya adalah bahwa Umar bin Abdul Aziz mungkin menjadi satu-satunya orang yang bersedih hati manakala diberi jabatan kekuasaan. Fenomenal bukan ? Ketika orang di penjuru dunia berlomba-lomba menjadi pemimpin, Umar justru bersikap sebaliknya. Apa pasal seorang tokoh legendaris bersedih hati terhadap “hadiah” kekuasaan yang didapatkannya ? Bukankah ia tidak meminta jabatan tersebut ?
Dikisahkan ketika suatu saat ia sedang menjabat kekuasaannya, isterinya, Fatimah mendapati diri Umar sedang menangis di kamarnya. Fatimah pun menanyakan apa yang sedang terjadi pada diri suaminya. Lalu Umar menjawab, “Ya Fatimah, saya telah dijadikan penguasa atas kaum muslimin dan orang asing dan saya memikirkan nasib kaum miskin yang sedang tertimpa kelaparan, kaum telanjang dan sengsara, kaum tertindas yang sedang mengalami cobaan berat, kaum tak dikenal dalam penjara, orang-orang tua yang patut dihormati, orang yang mempunyai keluarga besar namun penghasilannya sedikit, serta orang-orang dalam keadaan serupa di Negara-negara di dunia dan propinsi-propinsi yang jauh. Saya merasa bahwa Tuhanku akan bertanya tentang mereka pada Hari Berbangkit dan saya takut bahwa pembelaan diri yang bagaimana pun tidak akan berguna bagi saya. Lalu saya menangis.”
Sungguh luar biasa bukan sikap Umar di atas! Ia adalah tipe pemimpin yang sangat memperhatikan nasib rakyatnya. Kekuasaan bagi dirinya bukanlah suatu nikmat namun sebuah cobaan dan malapetaka. Secara gamblang kita dapat menangkap bagaimana perasaan hati Umar tatkala ditunjuk sebagai khalifah. Bergembiralah ia? Tidak ! Yang terjadi justru kesedihan dan rasa berat hati. Ia sadar bahwa kekuasaan mengandung konsekuensi yang sangat berat terutama menyangkut bagaimana ia harus menegakkan sendi-sendi keadilan dalam pemerintahannya. Sampai perkara yang kecil saja, Umar begitu perhatian. Lihat saja ketika ia memilih mematikan lampu di kerajaannya manakala anaknya datang untuk keperluan pribadi. Tidak salah apabila khalifah yang satu ini patut dijadikan teladan bagi para calon pemimpin maupun pemimpin yang sedang berkuasa agar kehidupan akhiratnya kelak terselamatkan dari api neraka !
Umar bin Abdul Aziz atau yang sering dikenal sebagai Umar II adalah satu-satunya khalifah yang namanya disejajarkan dengan Khulafaurrrasyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali). Dari sisi kesalehan ibadahnya pun tidak diragukan lagi. Menurut Anas bin Malik, cara shalat Umar bin Abdul Aziz sama dengan cara shalat Nabi Muhammad SAW.
Pelajaran apa yang perlu dipetik dari Umar bin Abdul Aziz sehingga begitu penting untuk dijadikan pelajaran bagi para calon pemimpin maupun “incumbent” ? Jawabannya adalah bahwa Umar bin Abdul Aziz mungkin menjadi satu-satunya orang yang bersedih hati manakala diberi jabatan kekuasaan. Fenomenal bukan ? Ketika orang di penjuru dunia berlomba-lomba menjadi pemimpin, Umar justru bersikap sebaliknya. Apa pasal seorang tokoh legendaris bersedih hati terhadap “hadiah” kekuasaan yang didapatkannya ? Bukankah ia tidak meminta jabatan tersebut ?
Dikisahkan ketika suatu saat ia sedang menjabat kekuasaannya, isterinya, Fatimah mendapati diri Umar sedang menangis di kamarnya. Fatimah pun menanyakan apa yang sedang terjadi pada diri suaminya. Lalu Umar menjawab, “Ya Fatimah, saya telah dijadikan penguasa atas kaum muslimin dan orang asing dan saya memikirkan nasib kaum miskin yang sedang tertimpa kelaparan, kaum telanjang dan sengsara, kaum tertindas yang sedang mengalami cobaan berat, kaum tak dikenal dalam penjara, orang-orang tua yang patut dihormati, orang yang mempunyai keluarga besar namun penghasilannya sedikit, serta orang-orang dalam keadaan serupa di Negara-negara di dunia dan propinsi-propinsi yang jauh. Saya merasa bahwa Tuhanku akan bertanya tentang mereka pada Hari Berbangkit dan saya takut bahwa pembelaan diri yang bagaimana pun tidak akan berguna bagi saya. Lalu saya menangis.”
Sungguh luar biasa bukan sikap Umar di atas! Ia adalah tipe pemimpin yang sangat memperhatikan nasib rakyatnya. Kekuasaan bagi dirinya bukanlah suatu nikmat namun sebuah cobaan dan malapetaka. Secara gamblang kita dapat menangkap bagaimana perasaan hati Umar tatkala ditunjuk sebagai khalifah. Bergembiralah ia? Tidak ! Yang terjadi justru kesedihan dan rasa berat hati. Ia sadar bahwa kekuasaan mengandung konsekuensi yang sangat berat terutama menyangkut bagaimana ia harus menegakkan sendi-sendi keadilan dalam pemerintahannya. Sampai perkara yang kecil saja, Umar begitu perhatian. Lihat saja ketika ia memilih mematikan lampu di kerajaannya manakala anaknya datang untuk keperluan pribadi. Tidak salah apabila khalifah yang satu ini patut dijadikan teladan bagi para calon pemimpin maupun pemimpin yang sedang berkuasa agar kehidupan akhiratnya kelak terselamatkan dari api neraka !